Blog Archives

SUMPAH BHISMA

Bhisma

Dengan riang hati, raja menyambut dan membawa sang putra ke istana. Anak yang di kelilingi aura keagungan dan kemudaan ini di nobatkan menjadi putra mahkota.

Empat tahun berlalu. Suatu hari, raja berjalan-jalan di pinggir sungai Yamuna. Tiba-tiba udara menyebarkan keharuman yang luar biasa. Raja mencari sumber keharuman. Ternyata sumbernya berasal dari seorang gadis yang jelita, secantik bidadari kahyangan. Berkat kebaikan hati seorang resi, keharuman yang sedemikian luar biasa akan selalu menguar dari tubuh gadis itu dan sekarang seluruh hutan menjadi harum karena kehadiran gadis tersebut.

Sepeninggal Dewi Gangga, Raja Sentanu selalu berusaha menahan hasrat dan hawa nafsu. Tetapi,  kecantikan gadis itu membuatnya hilang kendali dan terbawa gairah asmara yang meluap-luap. Raja Sentanu meminang gadis itu untuk menjadi permaisurinya.

Berkatalah gadis jelita itu : “Paduka raja, namaku Setyawati. Aku seorang penangkap ikan. Ayahku kepala nelayan di daerah ini. Silahkan Paduka membicarakan permintaanmu dengan ayah. Semoga dia menerima pinanganmu.” Suaranya seelok tubuhnya.

Ayah gadis itu memang cerdik.

Katanya : “Daulat Tuanku, memang sudah saatnya putri hamba menikah dengan seorang lelaki, seperti gadis-gadis lain. Paduka boleh meminangnya. Namun demikian, sebelumnya hamba mohon Paduka mau berjanji di hadapan hamba.”

Kata raja sentanu : “Apa pun syarat yang Anda ajukan akan aku pernuhi.”

Kepala nelayan itu memohon : “Jika anak hamba melahirkan anak laki-laki, paduka harus menobatkannya menjadi putra mahkota.”

Meskipun sedang di mabuk asmara pada Setyawati, Raja Sentanu tidak dapat menyanggupi persyaratan ayah Setyawati. Ia sadar syarat itu akan berarti menyingkirkan Dewabrata, putra Dewi Gangga yang seelok dewa, dari posisi putra mahkota. Harga yang terlalu memalukan untuk di tanggung. Oleh karena itu, ia kembali ke istana Hastinapura. Perasaannya campur aduk tidak karuan. Raja menyimpan rapat rahasianya. Ia simpan rapat kegelisahan hatinya ia banyak mengurung diri dan melamun.

Suatu hari, Dewabrata bertanya kepada ayahnya : “Ayahanda memiliki semua yang mungkin di inginkan orang. Tetapi, mengapa ayahanda tampak sedemikian murung, spertinya, ayahanda menyimpan rahasia yang menyesakkan hati”.

Prabu Sentanu menjawab : “Anakku, apa yang kau katakan benar. Ayahanda memang tersiksa perasaan gundah gulana, engkau adalah anakku satu-satunya dan engkau selalu sibuk dengan urusan keprajuritan. Hidup di dunia ini penuh dengan ketidakpastian dan selalu saja ada perang. Jika sesuatu yang tidak di inginkan terjadi padamu, garis keturunan keluarga kita akan putus, punah. Tentu saja engkau sebanding dengan seratus anak, namun demikian para tetua cendikiawan mengatakan bahwa hidup di mayapada, dunia ini punya satu anak sama artinya tidak punya anak sama sekali. Sungguh sayang kelangsungan keluarga kita tergantung pada seorang saja. Sebenarnya ayahanda memikirkan garis keturunan keluarga kita, inilah yang menyebabkan ayah berduka.” Sang ayah berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi, ia merasa malu pada anaknya.

Dewabrata yakin pasti ada alasan rahasia yang mengganggu ketenangan hati ayahnya. Kemudian ia bertanya kepada sais kereta ayahnya, barulah ia tahu tentang pertemuan sang ayah dengan seorang gadis penangkap ikan di pinggiran sungai Yamuna. Kemudian ia pergi kepada kepala nelayan itu, dan meminangkan anak gadisnya demi sang ayah.

Kepala nelayan itu menerimanya dengan hormat, tetapi tetap bersikukuh dengan syaratnya : “Sebenarnya anak gadis hamba pantas menjadi permaisuri ayahanda paduka. Oleh karena itu, bukankah wajar jika kelak anak lelakinya akan menggantikannya menjadi raja ? tapi paduka telah di nobatkan sebagai putra mahkota dan dengan demikian akan menggantikannya. Inilah masalahnya.”

Jawab dewabrata : “Baiklah, tolong ingat baik-baik kataku, anak lelaki yang dilahirkan anak gadismu akan di nobatkan menjadi raja. Aku rela tidak naik tahta demi keinginan ayahanda untuk melanjutkan garis keturunan keluarga. ” dewabrata mulai mengucapkan sumpahnya.

Setelah itu, kepala nelayan itu berucap, “wahai putra mahkota yang paling bijaksana diantara semua keturunan brata, tuan telah melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh para pewaris tahta sampai saat ini. Tuan memang seorang pahlawan. Silahkan tuan membawa anak gadis hamba untuk di peristri ayahanda tuanku. Namun demikian, mohon tuanku terus mendengarkan dengan sabar kata-kata hamba ini, sebagi ayah anak gadisku. Hamba  yakin tuanku akan menepati janji. Tapi apa yang dapat hamba gunakan untuk menguatkan harapan bahwa keturunan tuanku tidak akan menuntut hak mereka ? keturunan tuanku pasti akan menjadi pahlawan-pahlawan besar, seperti tuanku. Pasti akan sulit untuk menolak jika mereka berusaha merebut kerajaan dengan paksa. Inilah permasalahan yang menggangu pikiran hamba.”

Mendengar pertanyaan sangat sulit yang diajukan ayah gadis pujaan ayahandanya, dewabrata yang memutuskan untuk meniggalkan keinginan duniawi demi ayahandanya, mangucapkan sumpah pamungkas. Ia bersumpah dihadapan ayah anak gadis itu : “Aku berjanji tidak akan kawin dan akan menjalani  kesucian sepanjang hidupku.” Ketika dewabrata mengucapkan sumpah sucinya, para dewa menaburkan bunga-sunga semerbak diatas kepalanya dan terdengar suara-suara yang mengelu-elukan, “Bhisma…. Bhisma…… Bhisma…..” Sejak saat itu Dewabrata di kenal sebagai Bhisma.

Demikianlah, putra Batari Gangga memboyong Setyawati ke Hastinapura untuk ayahandanya.

Dari perkwawinan dengan Setyawati, raja Sentanu mendapatkan dua putra, Chitrangada dan Wicitrawirya, Wicitrawirya menjadi raja menggantikan saudaranya. Wicitrawirya mempunyai dua anak, Destarata dan Pandu, dari kedua permaisuri, Ambila dan Ambalika. Anak Destarata yang berjumlah seratus di kenal sebagai kurawa. Pandu mempunyai lima anak yang di kenal sebagai pandawa.

Bhisma menjalani kehidupan yang panjang ia di hormati sebagai sesepuh keluarga sampai perang besar di medan Kurusetra.

————————————————————————————————————————————————————–

Berikut adalah silsilah keluarga

silsilah Bhisma Kurawa dan Pandawa

GANAPATI, SANG JURU TULIS

ganesha, juru tulis kitab Mahabharata.

Ganesha / Ganapati

Begawan Wiyasa, pengarang kitab Weda yang masyur itu, adalah anak resi Parasana. Wiyasalah yang memberikan epos besar Mahabharata pada dunia.

Setelah merumuskan Mahabharata, Begawan Wiyasa memikirkan cara untuk menyampaikan kisah suci ini pada dunia. Ia berdoa kepada Dewa Brahma, Dewa pencipta. Dewa Brahma segera muncul di hadapannya. Ia memberikan salam hormat dengan menundukkan kepala, menyembah, dan mengajukan permohonan :

“Dewa, saya telah menyelesaikan sebuah karya yang sangat baik, tapi tidak dapat menemukan orang yang dapat menuliskannya sementara saya mendiktekan cerita ini.”

Dewa Brahma memuji Wiyasa dan berkata ; “Resi Wiyasa, undang dan mintalah Ganapati untuk membantumu menuliskan cerita ini.” Setelah itu, dewa Brahma menghilang. Wiyasa bersemadi mengundang Ganapati, yang segera muncul di hadapannya. Wiyasa menyambutnya dengan hormat dan meminta bantuan Ganapati.

“Wahai Ganapati, saya akan mendiktekan kisah Mahabharata dan saya mohon Anda berkenan menuliskannya.”

Ganapati menjawab : “Baiklah, aku akan melakukan apa yang kau minta. Tapi, dengan satu syarat, yakni, penakau tidak boleh berhenti saat aku sedang menuliskannya. Sehingga, kau harus mendikte tanpa jeda atau keraguan. Aku hanya dapat menulis dengan syarat ini.”

Wiyasa setuju, namun ia juga mengajukan syarat balasan : “Baiklah, tapi Anda harus memahami dulu makna apa yang saya diktekan sebelum menuliskannya.”

Ganapati tersenyum dan menyetujui syarat itu.

Kemudian sang resi pun mulai mendaraskan kisah Mahabharata. Sekali dua kali ia menyusun beberapa bait kompleks yang memaksa Ganapati berhenti sejenak untuk memahami maknanya dan wiyasa menggunakan kesempatan itu untuk menyusun bait-bait di benaknya. Begitulah Ganapati menuliskan kisah Mahabharata dengan didikte Wiyasa.

Dan itulah yang terjadi sebelum ada percetakan. Ingatan orang yang telah mempelajari suatu kisah menjadi satu-satunya “ Tempat penyimpanan”. Wiyasa mengajarkan kisah itu pertama kali kepada Resi Suka, putranya. Kemudian , ia menguraikan pada murid yang lain. Jika tidak demikian, mungkin kisah itu tidak mungkin akan sampai ke generasi di masa depan.

Tradisi mengatakan, narada mengisahkan kisah ini kepada para dewa, sementara Resi Suka mengajarkannya kepada gandarwa, raksasa, dan yaksa. Orang tahu bahwa Waisampayana yang saleh dan terpelajar, salah satu murid utama Wiyasa, mengisahkan epos ini untuk kebaikan umat manusia. Janamejaya, putra maharaja Parikesit, melakukan upacara pengorbanan besar sementara Waisampayana mengisahkan Mahabharata atas permintaannya. Kemudian, seperti yang di katakannya Waisampayana, kisah ini di daraskan di hutan Naimisa di hadapan para resi yang dipimpin oleh Resi Saunaka.

Suta memberikan salam pada resi itu, “Aku beruntung mendapatkan kesempatan mendengarkan kisah Mahabharata yang disusun Wiyasa untuk mengajarkan dharma dan tujuan-tujuan hidup yang lain kepada umat manusia. Aku ingin mengajarkan kisah ini kepada kalian. ” Mendengar perkataan itu, para petapa itu segera berkumpul mengelilingi Suta.

Suta Melanjutkan : “Aku mendengar kisah Mahabharata dan cerita-cerita episode yang ada didalamnya dari Waisampayana ketika Raja Janamejaya melakukan upacara pengorbanan. Setelah itu, aku melakukan peziarahan yang ke berbagai tempat Suci. Aku Juga mengunjungi medan perang tempat terjadinya perang besar itu. Sekarang, aku ke sini untuk menemui kalian semua” Kemudian , ia menceritakan keseluruhan kisah Mahabharata di depan sejumlah besar petapa itu.

Setelah kematian Maharaja Sentanu,Chitrangada menjadi raja Hastinapura. Kemudian ia di gantikan oleh Wicitrawirya. Wicitrawirya mempunyai dua anak – Destarata dan pandu. Karena putra tertua dari bersaudara itu terlahir buta, Pandu, putra kedua, naik tahta. Ketika berkuasa, Pandu melakukan suatu dosa dan harus mengasingkan diri ke hutan bersama dua istrinya. Ia menjalani hukuman selama bertahun-tahun.

Dalam masa pengasingan itu, kedua istri pandu, Dewi Kunti dan Dewi Madri, melahirkan lima putra, yang kemudian di kenal sebagai lima Pandawa. Dalam pengasingan itu, Pandu mati. Selama awal idup mereka, kelima Pandawa dibesarkan para resi.

Ketika Yudhistira, putra Tertua, berusia enam belas tahun, para resi membawa mereka kembali ke Hastinapura dan mempercayakan mereka kepada kakek mereka Bhisma.

Dalam waktu singkat kelima Pandawa dapat menguasai Kitab Weda, Wedanta, dan berbagai seni yang perlu di kuasai Kesatria. Para Kurawa, putra-putra Destarata yang buta, menjadi iri hati dan berusaha mencederai mereka dengan berbagai cara.

Akhirnya, Bhisma, sesepuh  keluarga, campur tangan untuk mendamaikan kedua belah pihak. Dengan perjanjian itu, pandawa dan Kurawa mulai memisahkan pemerintahan. Pandawa memerintah Indraprasta dan Kurawa memerintah Hastinapura.

Beberapa lama kemudian, terjadilah permainan dadu antara Kurawa dan Pandawa sesuai tradisi kehormatan kesatria. Sengkuni, yang bermain atas nama Kurawa, mengalahkan Yudhistira. Akibatnya, Pandawa harus mengasingkan diri selama tiga belas tahun. Mereka meninggalkan kerajaan dan pergi ke hutan bersama dengan istri mereka yang setia, Drupadi.

Menurut perjanjian dalam permainan dadu itu, Pandawa harus menghabiskan dua belas tahun di hutan dan pada tahun ke tiga belas mereka harus mengembara tanpa di kenal orang. Ketika mereka kembali dan meminta Duryudana mengembalikan Kerajaan mereka, Duryudana menolak. Akibatnya, terjadilah perang. Pandawa mengalahkan Duryudana dan mendapatkan kembali kerajaan warisan keluarga mereka.

Kelima pandawa memerintah kerajaan selama tiga puluh tujuh tahun. Setelah itu, mereka menyerahkan singgasana pada cucu mereka, Parikesit. Kemudian, mereka mengundurkan diri kehutan bersama Drupadi. Mereka semua meninggalkan pakaian kebesaran dan hanya mengenakan pakaian dari kulit kayu.

Demikianlah ringkasan kisah Mahabharata. Dalam epos kuno yang Luar biasa dari tanah India ini, kita dapat menemukan kisah-kisah yang ilustratif dan ajaran-ajaran luhur, disamping kisah perjalanan hidup kelima Pandawa. Kita dapat mengatakan bahwa Mahabharata merupakan samudra luas dan dalam yang berisi permata dan mutiara berharga yang tidak terhitung jumlahnya. Bersama dengan Ramayana, Mahabharata merupakan sumber etika dan kebudayaan India yang tidak ada habis-habisnya.